Selasa, 13 Agustus 2013

Negeri para pegiat plagiat?



Konon pada dekade 50-60an negeri Jepang sangat intens meniru produk-produk industri negara-negara Amerika Serikat dan Eropa. Banyak produk yang bagus hampir semua ditirunya. Buku-buku yang best seller dari berbagai negara diterjemahkan ke Bahasa Jepang. Tidak diketahui apakah semua peniruan itu legal atau tidak.

Sebagai negara yang memiliki etos kerja keras, Jepang mengambil untung dengan modus itu. Dikombinasikan dengan inovasi dan kreativitas mereka sendiri, modus itu mengantarkan bangsa Jepang menjadi bangsa produktif. Produk mereka merambah ke mana-mana, dari Asia, Afrika, Amerika Latin, bahkan sampai negara-negara yang produknya ditiru itu sendiri. Misalnya, mobil Jepang.

Saking masifnya industri Jepang merambah dunia, di negara kita sendiri pun melimpah barang-barang impor dari Jepang. Tidak mengherankan bila pada 1980-an ada ungkapan, di badan kita pasti ada yang menempel produk Jepang ke mana pun kita pergi. Entah itu berupa jam tangan, kalkulator, sandal, bahkan peniti.

Memang, tidak semua produk industri Jepang adalah hasil peniruan. Banyak juga yang diciptakan mereka sendiri (pada akhirnya). Namun, usaha meniru tersebut tak sedikit yang menyumbang devisa mereka karena laris-manis ketika diekspor. Pundi-pundi mereka yang penuh hasil ekspor mereka sempat mengantar Jepang menjadi negara terkemuka di dunia dalam bidang ekonomi di bawah Amerika Serikat.

Fenomena meniru itu akhirnya diikuti negara-negara lain, seperti Taiwan, Hongkong, China, Korea Selatan, India, dan lainnya. Belakangan negara-negara ini menuai hasilnya dengan menjadi macan-macan Asia.

Sebenarnya, perilaku meniru adalah fenomena umum yang terjadi di mana saja. Seperti pepatah China yang menyatakan “tidak ada yang baru di bawah matahari.” Dari disiplin psikologi pun hal ini sudah disampaikan, misalnya dalam teori Pembelajaran Sosial dari Albert Bandura. Perilaku manusia dihasilkan dengan cara meniru (imitation) dari orang-orang yang memengaruhinya (role model). Tetapi, yang menjadi masalah adalah sampai sejauh mana peniruan itu dapat diterima, baik secara etika-moral maupun secara legal (hukum).

Produk yang paling mudah ditiru

Dari sekian banyak produk yang paling mudah ditiru adalah karya tulis. Bila produk mesin diperlukan keahlian yang cukup tinggi, maka produk tulisan tidak memerlukan keahlian apa pun. Cukup dengan mengetik ulang karya orang lain kemudian diakui sebagai karyanya, sudah selesai. Peniruan semacam ini kita kenal sebagai plagiat.

Dulu sebelum diundangkannya peraturan tentang hak cipta karya intelektual, plagiat tidak sampai menjadi perkara di pengadilan. Artinya, secara legal, plagiat bukan tindak pidana. Orang dengan bebas mengambil karya orang lain kemudian diakui sebagai karyanya. Paling banter, ini diperkarakan secara etika-moral saja yang sanksinya bersifat moral.

Dalam praktik sehari-hari di negeri kita plagiat ada di mana-mana. Perkembangan teknologi informasi kian mempermudah perilaku plagiat. Adanya internet membuat orang dengan gampang meng-copy-paste karya milik orang lain menjadi karya yang diakui milik kita. Misalnya, kasus yang cukup banyak menyita perhatian beberapa tahun yang lalu adalah ketika seorang yang telah menyandang gelar Doktor (S3) ketahuan bahwa disertasinya merupakan plagiat. Akhirnya gelar Doktornya itu dicabut oleh perguruan tinggi yang memberikannya.

Di dunia akademik, plagiat merupakan pelanggaran paling berat dan sanksinya adalah tidak dipercaya lagi hasil-hasil karya tulisnya. Karier orang yang melakukan plagiat akan runtuh dan sulit dibangun kembali. Dari pihak yang karyanya diplagiat, secara personal ini pernah saya alami ketika tanpa sengaja mengetahui bahwa salah satu buku saya diplagiat oleh seseorang yang kemudian menyandang gelar Guru Besar. Demikian pula buku saya yang lain yang dibajak hingga dua kali di Bandung.

Dalam pergaulan dunia, Indonesia menjadi negara yang diwaspadai sebagai penyontek karya negara lain, misalnya pembajakan produk-produk software komputer. Ini terkait dengan sifat-sifat buruk yang telah terinternalisasi di sebagian besar masyarakat kita. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang disampaikan Mohtar Lubis beberapa dekade yang lalu.

Menurut Mohtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia” sifat orang Indonesia adalah: [1] hipokrit alias munafik, [2] tidak bertanggung jawab, [3] berjiwa feodal (gila hormat), [4] percaya takhayul, [5] artistik, [6] watak yg lemah, [7] tidak hemat, [8] tidak suka bekerja keras, [9] suka menggerutu, [10] cepat cemburu dan dengki, [11] suka sok-sokan (sombong), dan [12] plagiator alias suka nyontek. Beberapa sifat itu mungkin berpengaruh terhadap kebiasaan plagiat.

Namun, menurut para bijak-bestari, bukan berarti hal ini boleh dibiarkan begitu saja. Karya tulis seseorang dihasilkan dari usaha yang keras, memerlukan biaya, intelektualitas, memakan waktu. Upaya-upaya ini dihargai di masyarakat yang menjunjung tinggi etika-moral. Maknanya, orang yang menghasilkan karya tulis ditempatkan sebagai pihak yang mendapatkan kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak menghasilkan karya tulis. Mereka dihargai secara intelektual, sosial, karier, dan juga finansial.

Dampak buruk dari maraknya plagiat secara langsung diterima oleh individu yang karyanya diplagiat. Reward yang semestinya diperolehnya atas hasil karyanya menjadi hilang. Mereka menjadi terhambat kreativitas dan inovasinya. Pada dasarnya manusia akan senang bila dihargai karya-karyanya. Tanpa penghargaan atas jerih-payahnya manusia akan merasa sia-sia dalam berkarya. Sementara itu orang yang memplagiat mendapatkan reward yang semestinya bukan haknya.

Dalam jangka panjang, dampak plagiat terhadap kehidupan dan dinamika sosialnya akan menyebabkan terbentuknya masyarakat yang tidak kreatif dan inovatif, tidak menghargai karya orang lain, mau enaknya sendiri, tidak bekerja keras, mengambil jalan pintas. Padahal dengan semakin sengitnya persaingan global, perilaku masyarakat yang kreatif dan inovatif, menghargai karya orang lain, bekerja keras, dan menghargai proses sangat dibutuhkan agar suatu masyarakat survival dan berjaya.***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar