Kamis, 18 Juli 2013

Konvensi = Dongkrak Elektabilitas + Perangkap Maut?

Yuk giliran kita ngomong politik. Sekarang coba bayangkan, anda punya partai politik. Partai ini digadang-gadang dan dibanggakan bisa menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Ketika pemilu tiba, partai anda mendapat suara sangat banyak. Hidup terasa indah bagi anda. Panen madu politik pun berlangsung meriah.

Layaknya terjadi di mana-mana, partai yang mendapat suara sangat banyak menjadi magnet dukungan. Orang berbondong-bondong melirik kemungkinan untuk bergabung di situ. Belum lagi ketika bicara penentuan pejabat-pejabat publik oleh partai, seperti penunjukan menteri, pejabat ini, pejabat itu. Tokoh-tokoh nasional--atau minimal yang menganggap diri sendiri telah menasional--pun banyak yang merapat demi bisa menjabat.

Di tengah euforia panen madu yang manis itu muncul tabiat asli kader-kadernya. Ada yang masih mengemban misinya dengan baik, setengah baik, dan (celakanya) "doyan makan." Kader yang baik terus bekerja tapi dengan kesunyian publisitas media massa. Namun baginya itu tidak menjadi soal. Mereka memang tidak pamrih mendandani diri agar citranya terus positif. Namun terjadi yang sebaliknya pada kader yang "doyan makan" tadi. Nafsu makan mereka tambah menjadi-jadi. Ini akibat sudah sejak awal masuk dunia politik sudah "ngigit-igit" (mengincar) gelimang uang. Ini juga akibat mereka sudah mengidap penyakit hedon, sindrom pascamiskin alias kemaruk, dan terjajah kungkungan liberalisme ekonomi-politik.

Dapat ditebak, kader yang disebutkan belakangan ini timbul keberanian untuk meraup uang anggaran untuk dirinya sendiri. Mungkin sebelumnya ada yang belum berpengalaman tentang cara meraup uang yang bukan miliknya dengan cantik. Namun, jangan cemas: lingkungan telah kaya pengalaman. Berbagai cara telah tersedia dan siap pakai, mulai mark-up anggaran, pengurangan kualitas, pungutan terselubung sampai politik anggaran.

Namun keasyikan mereka dengan gelimang uang nan gampang di dalam partai telah melupakan fenomena terbalik di luar partai di ranah publik. Gerakan, ormas, kaukus atau perorangan yang telah geram dengan maraknya korupsi juga tak kalah giat. Institusi-intitusi antikorupsi informal dan nonformal, seperti grup-grup di media sosial, aliansi masyarakat antikorupsi, dan mungkin obrolan individu-individu di warung kopi mendesak institusi formal pemberantas korupsi, seperti polisi dan jaksa serta KPK. Desakannya jelas, proseslah para koruptor sesuai hukum.

Pelan tapi pasti, gerbong penumpasan korupsi mulai beringsut perlahan. Lalu kian cepat, kian cepat. Kader-kader partai yang tadi asyik-masyuk dengan mainan proyek haramnya menjadi keder. Satu demi satu sang kader mulai diciduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa korupsi.

Celaka dua belasnya, petinggi-petinggi di partai anda tak sempat berkelit. Jurus-jurus maut untuk “tinggal glanggang colong playu” (lari terbirit-birit) pun sebenarnya sudah dicoba tapi tidak mempan.

Singkat cerita, parpol anda morat-marit. Elektabilitas terjun bebas hingga di titik nadir. Ujungnya di pertemuan darurat petinggi partai yang berakhir diambilnya kebijakan penyelamatan partai. Salah satunya: konvensi!

Konvensi: modus lain agar menjadi magnet dukungan kembali

Melihat partai berdarah-darah, babak belur dihajar konstituen, anda tidak tinggal diam. Otak pun diputar, sorot mata diarahkan ke mana-mana, dan telinga dibuka lebar-lebar. Maksudnya? Ya agar anda mendapat wangsit untuk solusinya.

Dengan menyeru “Aha..!!” akhirnya anda ketemu dengan ide konvensi untuk partai anda. Aha erlebnis itu muncul karena anda menganggap itu ide brilian untuk mengobati sakitnya partai yang cukup parah. Anda mengira konvensi partai akan menjadi dongkrak perolehan dukungan kembali kepada parpol anda.

Sebagai penemu ide brilian, anda tentu langsung menyusun strategi yang mengiringinya. Landasan yuridis formal di partai dirumuskan, kasak-kusuk promosi keunggulan konvensi dilakukan, undangan kepada tokoh-tokoh politik disampaikan.

Dengan bergulirnya waktu terbukti ide konvensi manjur, terutama dalam hal menarik perhatian media. Cuma anda harus ingat bahwa media itu ibarat burung condor atau burung bangkai yang datang berbondong-bondong ketika ada makanan dalam bentuk bangkai. Jika tidak ada bangkai, anda akan ditinggalkannya.

Orang-orang dekat anda pun mengingatkan fenomena ini. Tapi dasar anda cerdas bukan kepalang, anda tersenyum saja. “Benar, seperti yang teman-teman sampaikan itu. Namun, saya masih punya hiden agenda yang dahsyat…” kata anda kepada sejawat-sejawat anda dengan kalem tapi penuh percaya diri.

“Begini…” anda melanjutkan. “Kita sebetulnya sudah punya calon pemimpin yang akan menjadi pilihan rakyat nanti. Konvensi ini cuma modus mendongkrak elektabilitas saja sekaligus ladang pembantaian tokoh-tokoh yang sering disebut oleh survey-survey,” kata anda dengan PD-nya.

Intinya, konvensi yang anda usung memiliki dua ujung tombak. Pertama, menolong partai mendapatkan kembali dukungan rakyat. Kedua, menjebak tokoh-tokoh yang elektabel untuk dikandangkan. Untuk yang disebut belakangan itu bisa terjadi dengan menjatuhkan seorang tokoh agar tidak ikut bursa pemilu.

Kini banyak beredar nama tokoh yang populer di mata rakyat. Tokoh di partai anda mungkin akan kalah kalau berhadapan dengan salah satu dari mereka. Bagaimana cara anda mengalahkan mereka? Modusnya, tokoh-tokoh yang populer itu dirayu untuk ikut konvensi. Dengan ikut konvensi di partai anda, mereka tercabut dengan institusi yang dapat mengusung mereka dengan sah. Kemudian ia dijatuhkan di konvensi partai anda dengan cara tidak memilihnya sebagai kandidat.

Otomatis, tokoh-tokoh yang terkena jebakan anda akan layu sebelum berkembang, gugur sebelum bertempur. Di partai mereka sendiri, mereka sudah ditolak karena dianggap penghianat, di partai anda mereka juga tidak terpilih karena konvensi cuma lips service semata. Apakah strategi anda ini akan berhasil? Entahlah, soalnya orang-orang yang tak kalah cerdik dari anda juga banyak lho.*****


Mas Jeprut