Minggu, 04 Agustus 2013

Lebaran Bisa Menjadi Saat yang Menyedihkan bagi Orang Miskin

e9356b6629fa7f4a10b0181d3a3b181f_mudik-2

Setahun sekali masyarakat Indonesia terutama yang muslim merayakan lebaran atau Hari Raya Iedul Fitri. Ritual lebaran sudah menjadi ranah budaya, bukan lagi ritual religi. Puncak ritual yang paling dinantikan adalah saling memaafkan dan bersilaturahmi dengan sanak-keluarga dan tetangga di kampung halaman. Ini mengharuskan masyarakat untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Masyarakat melakukan mudik lebaran.

Entah kapan mulainya, mudik lebaran bertambah makna dengan diam-diam menjadi semacam pentahbisan status sosial-ekonomi para perantau di mata sanak-keluarga, tetangga, dan handai-taulan di kampung halaman. Masyarakat di kampung halaman ingin mengetahui warga kampungnya yang dulu merantau sekarang sudah seperti apa, sudah jadi apa, sudah punya apa. Para pemudik sudah mengetahui hal ini sebelum mereka pulang kampung, bahkan sebelum mereka dulu merantau. Namun, hal ini tidak berlaku bagi mereka yang merantau untuk menuntut ilmu.

Kondisi perekonomian nasional yang relatif membaik membentuk masyarakat konsumtif. Sayangnya dinamika, pertumbuhan ekonomi, dan peredaran uang hanya terjadi di perkotaan. Masyarakat yang kini mengetahui pesatnya ranah ekonomi di perkotaan melalui media massa menjadi bertambah kebutuhan dan keperluannya. Handphone yang dulu bukan merupakan keperluan kini menjadi keperluan. Demikian pula barang-barang konsumsi lainnya. Untuk memenuhi itu semua mereka meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu peruntungan di tempat-tempat roda perekonomian berputar, yaitu di kota.

Meningkatnya sarana dan prasarana mobilitas mendukung keinginan untuk berurbanisasi, bahkan ke luar negeri. Ikatan-ikatan sosial yang mengutamakan guyub dan kumpul menjadi longgar dan ditepiskan untuk sementara waktu. Karena, mereka beranggapan kelak bila sudah berhasil di kota, toh mereka akhirnya juga dapat kembali pulang. Dengan pulang mereka kembali menyambung keguyuban dan kumpul bersama sanak-famili.

Di tanah rantau para pemudik membanting tulang untuk mengumpulkan lembar demi lembar uang. Tujuannya jelas: untuk meningkatkan taraf hidup, membangun keluarga, dan menunjukkan keberhasilan di kampung halaman. Di sinilah letak momentum lebaran sebagai pentahbisan status sosial-ekonomi para perantau.

Kendatipun mungkin di kota sifat efisien tumbuh dan sifat membantu berkurang ketika mudik sifat ini terbalik, sifat efisien berkurang dan sifat membantu bertambah. Indikatornya adalah mereka menyiapkan uang dan oleh-oleh untuk keluarga yang ada di kampung halaman. Tanpa membawa uang dan oleh-oleh, mudik menjadi hambar.

Namun, tidak semua perantau berhasil di perantauan. Orang-orang yang belum berhasil barangkali miskin atau pas-pasan tingkat perekonomiannya. Mereka berpikir keras untuk mudik lebaran. Bila tidak mudik akan menimbulkan kesan yang kurang baik di mata keluarga dan tetangga di kampung. Bila mudik, bekal yang akan dibawa pulang tidak ada.

Tentu saja orang-orang yang ditinggalkan di kampung juga mengalami dinamika perekonomian. Ada yang berhasil naik status, ada pula yang tetap seperti dulu. Orang-orang yang ada di kampung berusaha menjamu tamu dari kota (yang sebetulnya keluarga sendiri) dengan menyediakan makanan dan minuman yang relatif lebih enak dan lebih mahal daripada yang dikonsumsi sehari-hari.

Orang miskin juga memiliki perasaan dan keinginan yang sama dengan orang yang mampu saat lebaran tiba. Orang miskin di desa ingin memakai baju baru, meubel baru, rumah baru, makan berlauk daging, handphone mahal, VCD player, dan lain-lain barang-barang konsumsi yang baru. Orang miskin juga ingin mendapatkan status sosial-ekonomi yang baik. Ingin menjamu keluarganya yang pulang kampung dengan lebih layak. Tetapi, apa daya kemampuan ekonomi tidak mendukung untuk itu. Apa boleh buat, budaya konsumerisme kini juga telah melanda desa dan hampir semua orang tertular dengan budaya ini.

Para pengambil kebijakan publik tak pernah berupaya mengembangkan kearifan religius dan sosial yang sejati. Bahkan jabatan-jabatan publik diisi oleh orang-orang yang haus kekuasaan, harta, dan hasrat biologis. Mereka berlomba-lomba menjadi kaya dengan berbagai upaya. Di saat lebaran, merekalah garda terdepan penyandang status tinggi di mata orang di kampung halaman. Suatu status yang dinilai dari besarnya kekayaan materiil dan pangkat di kantornya masing-masing.

Kalau sudah demikian, orang miskin merasa betapa sedihnya menjalani lebaran yang cuma setahun sekali, kecuali mereka yang memahami hakikat kehidupan sejati. Bagi mereka ini, lebaran adalah momentum mensucikan kembali harkat dan martabat kemanusiaannya melalui ibadah puasa sebulan sebelumnya.

Kondisi kehidupan sosial negeri ini akan membaik di masa depan tergantung kepada orang-orang yang mampu, para tokoh, dan para pejabat publik melalui pendidikan yang hakiki, yaitu memanusiakan manusia sesuai dengan fitrahnya di mata Allah SWT.*****


1 komentar:

  1. desa sebagai kantong2 borjuasi kota malah semakin surut ke belakang. ekonomi berjalan di tempat. stagnasi selalu terjadi. tapi rakyat miskin seperti terdiam. gak bergerak. seperti tesis freire, banyak yg terbius, keadaan dianggap given. dan mesti ada gerakan2 yg membangunkan mereka, consciousness harus segera dimulai. ah senang baca artikel di sini. jadi ingin diskusi terus. dan sudah sy bookmark main web-nya.

    BalasHapus